Arti Kata Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China, Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
![]()  | 
| Keren Bro | 
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua  bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula  buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya,  sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits  tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji  pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas  sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan  kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar  Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin  Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah  pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa  Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah  membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya  ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits  yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘  pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau  mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al  Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas  radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat  ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau  menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini  dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan.  Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah  (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai  status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits  dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang  bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits  maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa  diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat  ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari  hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka  memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa  terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa  sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita  terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas  status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus  semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih  didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if  terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai  ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya.
Dan syarat  hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut  adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya  bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada  illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama  dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China.  Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’  –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk  menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu  agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh  dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan  negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh  sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika  hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah  sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
- Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
 - Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
 - Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
 
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

wah sy biasa dengar nih kata tuntutlah ilmu meski sampai ke negeri China. sekarang sy sudah tahu apa artinya sob, makasih yach sob...
BalasHapus